Begitu hendak keluar dari gerbang rumah, mas agus sebagai rekan sejawat yang juga tinggal serumah denganku, kuminta tolong dulu untuk membuka pintu gerbang matic yang terkadang berhenti tersangkut es yang memang sudah menggumpal di rel gerbang tersebut. Maklumlah, karena kondisi jalanan yang masih licin, tentunya kita tidak boleh ragu memainkan gas mobil agar tidak terjebak di dalam kubangan es seperti malam sebelumnya (http://legalact.blogspot.com/2010/02/lupa-idenya.html) yang cukup menghabiskan tenaga untuk mendorong maju dan mundur namun mobil tetap bergerak ditempat, meski rodanya berputar sekencang-kencangnya. Begitu mobil lancar melewati gerbang, es di jalan gang tak kalah ingin tetap menggoyang-goyang mobil.
Begitu sampai di jalan raya beraspal, rasanya musim ini bukanlah winter. Jalanan begitu bersih, hitam kelam seperti selesai disikat dengan sikat yang sangat besar, hanya sisa-sisa sedikit air yang terciprat oleh ban mobil rekan seperjalanan yang kadang mampir di kaca mobil. Berkendaraan di Berlin memang serasa berkendara di sirkuit dengan lintasan yang telah ditentukan untuk masing-masing perserta lomba. Semua peserta begitu rapi dijalurnya masing-masing dan mengerti akan kepentingan dam kemampuan mobilnya. Yang merasa mampu maka dia akan mengambil jalur paling kiri dan tentunya untuk mobil yang tidak kuat bersaing akan mengalah untuk memilih jalur kanan bersama dengan bis dan mobil-mobil truk box.
Keteraturan menjadi pemandangan yang mengasikkan dijalanan. Sikap saling memberi kepada pengendara lain kesempatan untuk masuk dan keluar dari lintasan begitu terlihat dalam keragaman merk mobil yang ada. Meski negara dengan komunitas muslim yang sangat minim, namun sikap untuk saling menghormati dan menghargai sungguh terasa sekali. Bisa kita bayangkan, bagaimana susahnya kita untuk masuk ke jalan raya di Jakarta jika kita baru keluar dari jalan kampung. Atau bahkan untuk berpindah jalur saja nyawa kadang harus dijudikan, andai saja mobil dibelakang atau disamping tidak mau mengalah dan bahkan dengan gayanya memelotokan matanya sambil bermain klakson yang memekakkan telinga. Ah, emang sudah rusak sepertinya budi pekerti budaya ketimuran kita yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai penghargaan terhadap sesama.
Aturan hukum sudah tidak artinya lagi bagi pengendara kendaraan di negara kita. Ntahlah, tentunya banyak faktor yang mempengaruhi pergesaran budaya yang saat ini ada. Kadang saya pribadi merasa kangen menekan-nekan klakson mobil, gatel rasanya mobil bagus sudah diberi fasilitas klakson tapi gak digunakan dengan baik..hehehe. Hanya bisa berdoa semoga terjadi perubahan yang cukup mendasar akan mental dan akhlak bangsa ini yang selalu melaksanakan ibadahnya dengan baik. Sehingga amalan-amalan ibadahnya akan menjadi bekas yang baik yang akan diterapkannya dalam perikehidupan bermasyarakat.
Salam dari Berlin,
kamal
02.24 06.02.2010